Tindakan Manusia +62 Dalam Merespon Covid-19.

Sumber : www.kompas.com

Oleh : Odedia

Tulisan ini dibuat sebagai ekspresi dikarenakan situasi yang semakin kacau akibat keberadaan Covid-19 di Indonesia. Antisipasi yang sangat lambat oleh negara, korban terinfeksi yang terus bertambah, dan gugurnya para pahlawan kesehatan bangsa Indonesia akibat minimnya fasilitas dan teknologi kesehatan.

Dalam republiknya plato, socrates menggambarkan keberadaan cincin gyges yang pemakainya bisa menghilang untuk bergerak sesuai kehendaknya-Ini seperti Covid-19 yang berpindah dari satu ruang ke ruang lainnya melalui instrumen (manusia, hewan, benda, dan transportasi). Mungkin saja, jikalau cincin tersebut benar adanya (diperjualibelikan) ini akan menjadi kabar baik bagi anggota DPR-RI untuk dimanfaatkan demi kebaikan dan keselamatan pribadi mereka-Soalnya disaat situasi yang semakin tidak terkendali, mereka malah mem-politisasi keadaan dengan melakukan rapid test untuk menyelamatkan diri sendiri.

(lihat : https://m.antaranews.com/amp/berita/1375158/anggota-dpr-akan-lakukan-rapid-test-covid-19? ).

Tentu itu manusiawi, persoalannya mereka menyalahi etika sebagai negarawan. Memangnya hanya mereka yang ingin mengetahui positif atau negatif covid-19 dan berhak menggunakan alat itu lebih dulu ? Kan tidak toh-Semua rakyat juga ingin melakukan hal itu.

Mengutip pram, Mereka memang tidak adil sejak dalam pikiran.

Antonio damasio, seorang neuroantropolog menggambarkan sifat tersebut dikarenakan kehancuran pada bagian ventromedial dari korteks prefrontal. Seseorang yang mengalami hal itu akan menjadi tidak sensitif terhadap pengaruh-pengaruh tindakannya pada orang lain. Mereka kehilangan perasaan moral yaitu ketidakmampuan untuk berempati terhadap orang lain. Seharusnya mereka bertindak altruistik sebagai kolektif negarawan yaitu dengan mementingkan keselamatan rakyatnya.

Simultan dengan itu, fakta bahwa ada individu, kelompok & unit usaha yang memanfaatkan keadaan ini untuk memperkaya diri. Rosseau dalam bukunya "Second Discourse" mengistilahkan prilaku itu sebagai "amour prope'' (sikap mementingkan diri sendiri/kecongkakan).

Sebagai tambahan untuk kejadian diatas yaitu tentang perspektif wabah di Indonesia, penulis mencoba meng-elaborasi buku karya fiksi Pramoedya Ananta Toer yang berbasiskan fakta historis. Tentu tidak asing lagi kalau teman-teman pernah membaca buku "anak semua bangsa" karya Pramoedya Ananta Toer menceritakan tentang fenomena wabah cacar di Indonesia. Dalam salah satu bagian bukunya itu, yang menceritakan sebuah wabah yang terjadi di Jawa sekitaran Tulungan pada abad ke-20. Menurut buku tersebut, untuk mencegah transmisi virus, maka lokasi desa yang terdapat virus cacar diberi pagar bambu dan dijaga ketat oleh tentara kompeni agar semua masyarakatnya tidak bisa keluar dan dibiarkan meninggal-demi mencegah perkembangbiakkan virus, nantinya desa tersebut akan dibumi hanguskan. Dulu metode social/physical distancing belum ada. Dilain sisi, sesuatu yang lebih dikhawatirkan pemerintah kolonial ketika virus tersebut meluas yaitu bisa menginterupsi aktivitas perusahaan gula.

Pelajaran yang bisa dipetik dari buku tersebut yaitu modal lebih diistimewakan ketimbang nyawa manusia-Kemanusiaan diposisikan dibawah kapital.

Dalam situasi seperti ini, semestinya kemanusiaan ditempatkan diatas segala kepentingan yang ada-Bukankah kita satu bangsa, satu tumpah darah, dan satu bahasa yang sudah final sebagai satu kesatuan yang utuh dalam bingkai perbedaan (Bhineka Tunggal Ika). Seharusnya kita saling membantu satu sama. Saling peduli demi kebaikan, keselamatan, dan kemaslahatan. Bertindak gotong-royong sesama anak bangsa sesuai landasan filosofi bangsa ini didirikan. Bukan malah terpecah bela demi keselamatan dan keuntungan pribadi, kelompok, ataupun golongan yang menjadi ciri kehidupan feodalisme yang sudah menjadi fosil itu.

Kita tidak bisa menitip semua beban kepada Nakes (Tenaga Kesehatan) untuk berjuang dalam melawan Covid-19. Apalagi berharap besar terhadap negara. Kunci perlawanannya ada pada kesolidan warga negara.

Beruntunglah masih ada yang menanamkan nilai-nilai keindonesiaan yang sudah diwarisi melalui darah nenek moyang. Berbagai unsur kalangan, profesi, kelas yang berada dalam organisasi, institusi/lembaga mengorganisasikan diri mereka untuk menjadi volunteer (relawan) kemanusiaan. Mereka menggalang donasi untuk menutupi keperluan Nakes, warga negara bahkan negara. Dahsyat ! Mereka memanfaatkan ruang untuk menebar misi kemanusiaan ini. Media sosial yang selalu menjadi kanal interaksi praktis, instant dan cepat (selama dalam mode on daring) menjadi ruang untuk memaksimalkan gerakan kemanusiaan. Syahdan ini terbukti efektif juga efisien. Mereka yang bingung dalam menyalurkan bantuan segera ikut berpartisipasi.

Bukan hanya dalam bentuk donasi keuangan, masker, APD, tapi juga dalam bentuk teknologi yang berfungsi melacak penyebaran virus dan menghambat perkembangan virus-mereka yang mengikuti perkembangan virus ini diberbagai negara, terutama china dan vietnam yang sukses membatasi pergerakan virus salah satunya melalui perangkat teknologi ternyata diam-diam diadopsi oleh para volunteer yang mempunyai pengetahuan/skill tentang pemanfaatan teknologi.

Pandangan biolog inggris V. C. Wynne Edwards,  yang menyatakan bahwa "kadang-kadang manusia mereduksi kepentingan reproduktif mereka sendiri demi kelangsungan spesiesnya", patut menjadi kesimpulan untuk para volunteer diatas.

Keadaan itu membuat kita semakin optimis bahwa bangsa ini akan memenangkan pertarungan dalam melawan covid-19. Apalagi bangsa ini punya pengalaman sukses dalam menghadapi wabah (Flu burung dan flu babi). Bukan hanya bangsa ini, dunia sudah beberapa kali dilanda pandemi, tetapi manusia berhasil keluar sebagai pemenang. Sekian.

*Pendekatan dan penguatan narasi diatas disadur dari buku The Great Disruption (Francis Fukuyama) dan Buku Anak Semua Bangsa (Pramoedya Ananta Toer).

Komentar